Parameter Konsultindo Gelar Survei Pilkada Kota Cirebon: Eti-Suhendrik Unggul 49,2%
CIREBON, (SGOnline).-
Lembaga survei Parameter Konsultindo melakukan survei terkait popularitas dan elektabilitas tiga paslon Pilkada Kota Cirebon. Yakni Dani Mardani- Fitria Pamungkaswati, Eti Herawati-Suhendrik, serta Effendi Edo-Siti Farida Rosmawati.
Direktur Parameter Konsultindo Dr Agus Aribowo mengatakan untuk tingkat popularitas, paslon nomor urut 2 Eti Herawati-Suhendrik unggul dengan angka 60,1 persen, disusul paslon nomor urut 1 Dani Mardani-Fitria Pamungkaswati 20,4 persen, dan paslon nomor urut 3 Effendi Edo-Siti Farida Rosmawati sebesar 18,3 persen. Sedangan yang belum memutuskan 1,2 persen.
Sementara dari sisi kesukaan publik atas ketiga paslon, pasangan Eti Herawati-Suhendrik unggul 49,5 persen, disusul Effendi Edo-Siti Farida Rosmawati 23,3 persen dan Dani Mardani-Fitria Pamungkaswati 20,9 persen. Sedangkan yang belum memutuskan sebesar 6,3 persen.
Lalu, ketika responden ditanya jika pilkada digelar hari ini siapa yang pantas dipilih untuk walikota dan wakil walikota, paslon nomor urut 2 Eti Herawati-Suhendrik unggul 49,2 persen, disusul paslon nomor urut 3 Effendi Edo-Siti Farida Rosmawati 23,5 persen, dan paslon nomor urut 1 Dani Mardani-Fitria Pamungkaswati 21,5 persen. Sedangkan yang belum memutuskan 5,8 persen.
Agus Aribowo menjelaskan, survei mencakup lima kecamatan di Kota Cirebon, 22 kelurahan, dan 140 RW. Survei dilakukan pada 19 hingga 23 September 2024 dengan melibatkan 651 responden. Margin of error 4% dengan tingkat kepercayaan 95%. “Sehingga memberikan gambaran cukup akurat mengenai preferensi pemilih menjelang Pilkada Kota Cirebon,” kata pria yang biasa disapa Ari itu, Kamis malam (10/10/2024).
Masih kata Ari, dalam kompetisi pilkada, pasti ada yang unggul dan ada yang ketinggalan. Seperti paslon nomor 2 unggul signifikan. Dijelaskan Ari, keunggulan paslon nomor urut 2 karena punya investasi suara sebelumnya pernah menjabat sebagai wakil walikota dan sering turun ke masyarakat.
“Begitu juga kalau kita lihat paslon nomor urut 1 memang juga sudah punya investasi suara sebagai anggota dewan, tapi paslon nomor urut 2 bukan hanya punya investasi dewan, tapi menjabat sebagai eksekutif. Dan selama menjabat sebagai eksekutif, tingkat keterkenalannya lebih banyak dibandingkan yang menjadi legislatif,” papar Ari.
“Jadi paslon nomor urut 2 dikenal sejak menjadi anggota dewan hingga menjadi eksekutif. Ketika menjabat sebagai eksekutif, maka semua dapil mengenal sosok beliau (Eti Herawati, red). Sehingga tingkat popularitas ini menjadi linier dengan elektabilitas,” sambungnya.
Dengan sisa waktu sekitar 47 hari lagi menuju pemungutan suara, Ari mengatakan kemungkinan masih terjadi perubahan. “Bisa saja terjadi. Kita juga mengambil sampel dengan probability sampling. Artinya siapa pun semua penduduk Kota Cirebon punya peluang kita ambil sebagai sampel. Makanya kemungkinan itu bisa saja sesuai effort masing-masing paslon,” terangnya.
Kalau ada paslon yang unggul cukup jauh, kata Ari, tinggal lihat paslon di bawahnya punya waktu untuk mengejar atau tidak. “Kalau tidak bisa mengejar maka paslon nomor 2 tetap unggul. Peluang sama-sama besarnya, bisa saja nomor 1 dan 3 bisa naik, tapi apakah kenaikannya signifikan,” sambungnya.
Masih lanjut Ari, bisa saja kenaikannya hanya 5 persen. Hal ini dilihat margin error 4 persen dan yang belum memutuskan 5,8 persen atau kalau digabung antara margin of error ditambah yang belum memutuskan sebesar 9,8 persen.
“Bisa saja menambah 4 persen atau turun 4 persen ketiga paslon itu. Atau bisa saja masing-masing paslon bisa naik atau turun 2 persen, Jadi itu kemungkinan-kemungkinanya,” urai Ari.
Disinggung tentang money politics, Ari menjelaskan, sesama lembaga survey pernah melakukan survei nasional tentang money politics, tapi kontesknya saat itu adalah pemilu legislatif. Data itu itu bisa jadi acuan money politics, di mana bisa terjadi dan kemungkinan mengubah pilihan warga.
“Kalau mempengaruhi pilihan pada pilkada, bisa saja mempengaruhi. Tapi pertanyaannya, seberapa besar pengaruhnya? Kalau tidak signifikan pencapaian suara, maka money politics akan menjadi sia-sia. Salah satu paslon bisa sama mengejar paslon yang unggul dengan money politics, tapi itu pun tak bisa melampaui angka 8 persen atau 10 persen. Kalau sampai berani melakukan money politics, maka gambling dan resikonya luar biasa,” pungkasnya. (Ruddy/SGO)